Perkembangan teknologi telah mendorong perubahan besar dalam ekosistem perekonomian Indonesia. Salah satu perubahan besar yang kini dirasakan langsung oleh pelaku usaha adalah kemunculan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai metode pembayaran digital yang kian populer.

Dengan QRIS, transaksi bisa dilakukan dengan lebih cepat, aman, dan praktis. Tak perlu lagi pusing cari uang kembalian, semua transaksi langsung tercatat secara digital. Selain itu, pelaku usaha juga bisa memantau keuangan secara real-time hingga memperoleh peluang promo dari penyedia layanan pembayaran digital. Maka tak heran, bisnis yang adaptif terhadap QRIS punya potensi lebih besar untuk tumbuh di era digital.

Namun sayangnya, adopsi QRIS di kalangan pelaku usaha belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Masih banyak yang enggan beralih ke transaksi digital, dan salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya literasi digital di Indonesia.

Tantangan Utama dalam Adopsi QRIS

Menurut Diana Yumanita, Direktur Grup Perlindungan Konsumen Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, transaksi digital memang menjanjikan, tapi tetap memiliki tantangan yang perlu diatasi. Hal ini ia sampaikan dalam acara Dialog Inspiratif AstraPay, bertajuk Pengembangan Literasi Keuangan Digital Berbasis QRIS pada 13 Juni 2024 lalu. Berikut ini beberapa tantangan utama:

1. Keamanan Data Pribadi yang Rentan

Transaksi digital sering kali menjadi sasaran empuk bagi oknum tidak bertanggung jawab. Banyak kasus penipuan yang terjadi karena pengguna secara tidak sadar memberikan informasi sensitif seperti PIN, kode OTP, atau bahkan data pribadi lainnya kepada pihak yang tidak sah.

Masalah ini muncul bukan karena teknologinya bermasalah, tapi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara menggunakan teknologi dengan aman.

“Literasi keuangan digital menjadi sangat penting, agar masyarakat dapat memahami manfaat dan hal-hal lain yang perlu diperhatikan dari penggunaan sistem pembayaran digital,” ujar Diana.

Tanpa literasi digital yang baik, masyarakat mudah terjebak penipuan atau penyalahgunaan data. Maka dari itu, solusi utama dari tantangan ini adalah edukasi.

2. Penyalahgunaan QRIS

QRIS memang praktis, tapi juga bisa disalahgunakan. Contohnya, oknum yang menempelkan QR palsu di tempat umum atau mengganti barcode milik toko dengan kode miliknya sendiri. Akibatnya, uang yang seharusnya diterima oleh pelaku usaha malah masuk ke rekening orang lain.

Kasus seperti ini kerap terjadi, terutama di daerah yang belum memiliki pengawasan ketat dan rendah pemahaman tentang keamanan digital.

3. Kurangnya Edukasi dan Kepercayaan

Sebagian masyarakat, terutama yang belum familiar dengan teknologi, masih menganggap transaksi digital itu ribet atau bahkan tidak aman. Banyak pelaku UMKM yang masih bergantung pada uang tunai karena kurangnya pemahaman tentang manfaat dan cara kerja QRIS.

“Tanpa pemahaman yang memadai, masyarakat bisa rentan terhadap penipuan, penyalahgunaan data, dan masalah keamanan lainnya,” tambah Diana.

Solusi: Tingkatkan Literasi Digital, Percepat Pertumbuhan Usaha

Meskipun tantangannya nyata, solusinya bukan menolak teknologi, tapi memahami dan menguasainya. Pemerintah bersama berbagai lembaga kini gencar mendorong peningkatan literasi digital dan literasi keuangan, terutama di wilayah yang belum tersentuh teknologi secara merata.

Pelaku usaha bisa mulai dari hal-hal sederhana, seperti:

Dengan begitu, UMKM bisa mengelola bisnis secara modern tanpa harus takut atau merasa terancam oleh teknologi.

Kesimpulan: QRIS Bukan Ancaman, Tapi Peluang !!

QRIS bukan hanya sekadar metode pembayaran baru, tapi bagian dari ekosistem ekonomi digital yang terus berkembang. Bisnis yang terbuka terhadap inovasi dan terus belajar akan lebih mudah menyesuaikan diri dan bertahan di tengah perubahan zaman.