Kelas Menengah RI Terancam Turun Kasta, Transaksi Digital Jadi Bukti Nyatanya!
Beberapa tahun terakhir, kita disuguhi narasi optimis tentang kebangkitan kelas menengah Indonesia—generasi yang dianggap mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi, gaya hidup digital, hingga investasi. Tapi, belakangan ini, ada sinyal senyap tapi serius yang menunjukkan sebaliknya: kelas menengah sedang goyah, bahkan sebagian mulai kehilangan pijakan.
Salah satu indikatornya mungkin tidak banyak disadari Penurunan transaksi QRIS di Indonesia.
QRIS Barometer Konsumsi Kelas Menengah?
QRIS, atau Quick Response Code Indonesian Standard, sejak awal digadang sebagai jembatan digitalisasi keuangan nasional. Penggunaannya meluas dari warteg hingga restoran kekinian, dari toko kelontong sampai pusat perbelanjaan. Namun, mulai pertengahan 2024, data transaksi QRIS justru menunjukkan grafik menurun tanda yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bank Jatim mencatat, nominal transaksi QRIS di merchant yang awalnya mencapai Rp176,30 miliar pada Juni 2024, merosot drastis menjadi Rp127,91 miliar di bulan Juli. Meski sempat naik tipis menjadi Rp130,51 miliar pada Agustus, penurunan tajam itu tetap jadi perhatian.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Jawabannya bisa jadi lebih dalam dari sekadar ‘musim liburan’ atau ‘tren sementara’.
Kelas Menengah Naik Panggung, Lalu Turun Tanpa Sorotan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) membuka tabir realita yang lebih luas. Pada 2019, jumlah penduduk Indonesia yang termasuk kelas menengah mencapai 57,33 juta orang. Namun di tahun 2024, angka itu menyusut menjadi 47,85 juta orang. Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang yang turun kelas—sebagian besar masuk ke kategori kelas menengah rentan atau bahkan rentan miskin.
Kategori aspiring middle class ini justru naik, dari 128,85 juta (2019) menjadi 137,50 juta orang (2024). Mereka adalah kelompok masyarakat yang "hampir mapan", namun rawan terlempar ke bawah ketika ekonomi terguncang.
Lebih mencemaskan lagi, jumlah penduduk rentan miskin juga meningkat dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta dalam periode yang sama. Bila digabung, dua kelompok ini menunjukkan satu hal penting kelas menengah Indonesia sedang terfragmentasi, perlahan turun kelas, dan daya belinya tergerus.
Bagi sebagian orang, penurunan transaksi QRIS mungkin terlihat remeh. Tapi bagi para analis, ini cerminan nyata dari pergeseran perilaku konsumsi masyarakat kelas menengah.
Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, menyebut bahwa meskipun QRIS masih bertumbuh secara tahunan, tren tiga bulan terakhir menunjukkan pelemahan yang konsisten. Tren ini bersamaan dengan periode deflasi inti selama empat bulan berturut-turut (Mei–Agustus 2024), yang biasanya berkaitan erat dengan penurunan permintaan barang dan jasa.
Sinyal ini makin kuat ketika Direktur Kepatuhan OK Bank Indonesia, Efdinal Alamsyah, menyampaikan bahwa nilai tabungan yang terhimpun juga turun sekitar 12% secara tahunan. Menurutnya, masyarakat kini lebih selektif: mengalihkan pengeluaran dari hiburan atau lifestyle ke kebutuhan pokok seperti makanan dan keperluan rumah tangga.
Dengan kata lain, QRIS yang dulunya ramai di kedai kopi, bioskop, dan restoran kini mulai sepi. Karena konsumen harus memprioritaskan belanja sembako, bayar listrik, atau sekadar bertahan sampai gajian berikutnya.
Kenapa Kelas Menengah Bisa "Turun Kelas"?
Fenomena turunnya kelas menengah bukan sekadar efek pandemi yang tertunda. Ada berbagai faktor struktural dan psikologis yang membuat mereka makin rentan:
Apa Artinya Bagi Ekonomi?
Penurunan konsumsi dari kelas menengah bukan sekadar statistik , ini alarm keras bagi ekonomi makro. Karena selama ini, mereka adalah penggerak utama sektor ritel, makanan dan minuman, hiburan, hingga pariwisata domestik.
Jika daya beli mereka melemah, maka banyak sektor ikut goyah:
Dalam jangka panjang, penyusutan kelas menengah bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional, sekaligus memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk menghadapi kondisi melemahnya daya beli dan tergesernya jutaan masyarakat dari kelas menengah ke kelompok rentan, semua pihak mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat perlu mengambil peran aktif. Pemerintah dan regulator perlu turun tangan dengan kebijakan yang tepat sasaran, seperti memberikan subsidi yang benar-benar menyentuh masyarakat yang membutuhkan, menyalurkan bantuan langsung tunai, dan memperkuat jaring pengaman sosial agar kelompok rentan tidak semakin terdorong ke bawah. Tak kalah penting, akses terhadap kredit usaha mikro harus dipermudah dan diberi insentif pajak agar sektor informal, yang menjadi tulang punggung ekonomi banyak keluarga bisa terus bertahan dan berkembang. Di sisi lain, sektor swasta dan perbankan juga perlu berbenah, bukan hanya mengejar profit semata, tetapi turut berkontribusi melalui produk keuangan yang lebih fleksibel, bersifat edukatif, dan tidak mencekik nasabah. Fokus mereka seharusnya bergeser dari sekadar menawarkan layanan konsumtif seperti paylater, ke arah solusi keuangan yang berkelanjutan dan memberdayakan. Terakhir, dari sisi masyarakat sendiri, penting untuk meningkatkan literasi keuangan agar tidak mudah tergoda oleh pola konsumsi impulsif. Terutama bagi kelas menengah, kini saatnya beradaptasi dengan kenyataan baru belajar hidup lebih hemat, menata ulang keuangan pribadi, dan membangun kemampuan bertahan menghadapi masa sulit. Dengan sinergi dari ketiga pihak ini, maka peluang untuk membalikkan keadaan dan mencegah krisis yang lebih besar bisa tetap terbuka.
Ketika Transaksi Diam, Kita Harus Bertanya
Penurunan transaksi QRIS bukan hanya angka. Ia adalah cermin — mencerminkan kegelisahan ekonomi yang perlahan menjalar, terlebih pada mereka yang sebelumnya merasa “cukup aman” sebagai kelas menengah.
Kini, banyak yang terpaksa menyesuaikan gaya hidup, menyusun ulang prioritas, bahkan mengevaluasi ulang impian. Tapi bukan berarti semuanya suram. Di tengah krisis, ada peluang untuk memperbaiki fondasi, memperkuat daya tahan finansial, dan membangun ekonomi yang lebih inklusif dan adil.
Yang penting, jangan anggap sepi transaksi sebagai hal biasa. Karena kadang, ketenangan justru menyimpan gejolak besar di dalamnya.
✨Kalau kamu suka artikel seperti ini, bantu share ke sesama pelaku usaha kamu ya!✨