QRIS Dorong Posisi Strategis Indonesia di Panggung Global
Digitalisasi transaksi keuangan telah mengubah lanskap kekuatan ekonomi global. Sistem pembayaran telah menjadi medan pertarungan pengaruh yang krusial.
Selama beberapa dekade, arsitektur keuangan internasional didominasi oleh pemain Barat yang infrastrukturnya mengendalikan aliran perdagangan lintas batas. Namun, kehadiran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) membawa narasi tandingan yang menarik.
Atensi terhadap sistem pembayaran ini bukanlah isapan jempol belaka. Buktinya, dalam dokumen resminya, Pemerintah AS secara terang-terangan mempersoalkan penggunaan QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia yang dinilai merugikan sejumlah perusahaan AS yang selama ini telah mapan dalam industri sistem pembayaran, seperti Visa dan MasterCard.
Kekhawatiran AS ini bisa jadi didorong oleh perkembangan QRIS yang cukup signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Lebih dari sekadar solusi pembayaran domestik, QRIS telah meluas ke sejumlah negara dan, sadar tidak sadar, menjelma sebagai instrumen diplomasi ekonomi.
Penetrasi QRIS di lingkungan internasional telah dimulai setidaknya sejak empat tahun lalu. Salah satu negara yang pertama membuka akses kepada QRIS adalah Thailand, melalui kerja sama dengan PromptPay, sistem pembayaran via kode QR yang diinisiasi oleh sejumlah perbankan Thailand dengan anak perusahaan Mastercard, Vocalink.
Kerja sama yang diteken pada 2021 ini telah beroperasi secara penuh sejak akhir Agustus 2022. Dengan skema yang mirip, kerja sama juga telah dilakukan dengan DuitNow di Malaysia dan SGQR di Singapura, yang telah berjalan sejak 2022.
Perkembangan terbaru, Bank Indonesia (BI) telah mencapai kesepakatan dengan sejumlah negara, seperti China dan Jepang.
Menurut rencana, pelancong dari Indonesia nantinya sudah bisa bertransaksi di kedua negara tersebut per 17 Agustus mendatang. Di luar kedua negara tersebut, BI juga tengah menjajaki kerja sama dengan beberapa negara, seperti India dan Arab Saudi.
Geopolitik sistem pembayaran
Dalam kajian diplomasi ekonomi, salah satu konsep yang bisa digunakan adalah economic statecraft yang dikemukakan oleh David Baldwin.
Singkatnya, konsep ini berbicara tentang bagaimana peranti ekonomi, seperti perjanjian dagang dan investasi, digunakan oleh sebuah negara untuk mencapai tujuan politik luar negerinya.
Dalam konteks ini, sistem pembayaran, yang mungkin sering diabaikan dalam diplomasi konvensional, bisa menjadi salah satu saluran kekuatan ekonomi.
Dominasi Visa dan Mastercard, misalnya, memastikan sebagian besar transaksi global mengalir melalui jaringan yang dikendalikan AS dan memperkuat hegemoni dollar.
Sementara itu, SWIFT, sistem pesan untuk pembayaran lintas negara, pernah digunakan sebagai senjata melalui sanksi, seperti yang terjadi pada eksklusi bank-bank Rusia setelah invasi ke Ukraina.
Dalam konteks ini, QRIS menjadi bentuk penegasan kedaulatan finansial Indonesia. Dikembangkan oleh Bank Indonesia pada 2019, QRIS awalnya dirancang untuk menyatukan lanskap pembayaran digital Indonesia yang terfragmentasi.
Namun, interoperabilitasnya dengan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura, mendorongnya untuk masuk ke dalam jaringan mekanisme pembayaran regional.
Ekspansi ini sejalan dengan apa yang disebut ekonom Benjamin Cohen sebagai currency statecraft, di mana negara menggunakan peranti keuangan, dalam hal ini sistem pembayaran, untuk memperluas pengaruh ekonomi tanpa paksaan politik langsung.
Dengan mempromosikan QRIS, Indonesia mengurangi ketergantungan pada jaringan Barat sekaligus turut membangun ekosistem finansial yang mandiri di Asia Tenggara.
Tatanan inklusif dan berkeadilan
Perkembangan QRIS dalam beberapa waktu terakhir mencerminkan pergeseran global menuju multipolaritas dalam sistem keuangan. Ketika negara-negara mencari alternatif dari sistem yang didominasi Barat, infrastruktur pembayaran domestik dan regional semakin diminati.
Unified Payments Interface (UPI) di India, Pix di Brasil, dan eksplorasi mata uang bersama oleh negara-negara BRICS menunjukkan masa depan finansial yang lebih terfragmentasi dan berdaulat.
Pergeseran yang terjadi ini tidak muncul dari ruang hampa. Pasalnya, duopoli dari Visa dan Mastercard telah lama menjadi persoalan, terutama bagi negara berkembang.
Struktur biaya yang mereka kutip, umumnya 1-3 persen per transaksi, memberikan beban yang kurang proporsional pada pedagang kecil dan konsumen.
Maka, biaya transaksi QRIS yang jauh lebih rendah menjadikannya alternatif yang sangat menarik di tengah dominasi kedua raksasa tersebut.
Bagi Indonesia, QRIS bukan sekadar alat pembayaran, melainkan juga pernyataan kemandirian ekonomi.
Dengan mengintegrasikan QRIS ke dalam jaringan perdagangan regional, Indonesia tidak hanya melindungi diri dari paksaan finansial eksternal, tetapi juga membangun narasi baru kerja sama Selatan-Selatan.
Dalam jangka panjang, QRIS bisa menjadi fondasi ekonomi digital ASEAN, seperti halnya SEPA di zona euro.
Upaya-upaya untuk memajukan sistem pembayaran ini pada dasarnya adalah pertarungan untuk kedaulatan ekonomi.
QRIS mungkin tidak akan menggantikan raksasa Visa atau Mastercard, terutama dalam waktu singkat. Akan tetapi, inisiatif ini telah menawarkan alternatif yang patut diapresiasi, sesuai dengan visi Indonesia atas tatanan finansial global yang lebih adil dan inklusif.